Senin, 07 November 2011

Enam kali aku menangisi adikku


Aku lahir di suatu desa di pegunungan yang sangat terpencil. Untuk memenuhi kebutuhan kami, setiap hari dengan berpeluh orang tuaku membajak lahan kami yang tandus. Dan, aku mempunyai seorang adik laki-laki yang usianya tiga tahun lebih muda dari pada aku.

Suatu saat, karena tertarik untuk membeli sebuah sapu tangan yang di pakai oleh banyak gadis di desa kami, aku mencuri uang lima puluh sen dari laci ayahku.

Ayahku segera menyadari kehilangan uang tersebut. Ayah memerintahkan aku dan adikku untuk berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bamboo di tangannya.

“siapa yang mencuri uang itu?” ayah bertanya dengan sangat marah. Aku terdiam, terlalu takut untuk berbicara.

Ayah semakin marah ketika tidak ada yang mengaku dan ia berkata, “Baik, kalau begitu kalian berdua akan kuhajar!” ayah mengangkat tongkat bamboo itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu segera bertubi-tubi menghantam punggung adikku. Ayah begitu marah, sehingga ia lupa diri dan terus-menerus memukul adikku samapi beliau kehabisan napas.

Sesudah  itu, ayah duduk di atas ranjang batu kami dan memarahi adikku, “kami sudah belajar mencuri sekarang, hal memalukan apa lagi akan kamu lakukan di masa yang akan datang?... kamu layak di pukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kamu. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitihkan air mata setetes pun. Pada tengah malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi”aku masih selalu membenci diriku, karena tidak memiliki cukup keberanian untuk mengakui perbuatanku.

Bertahun-tahun telah lewat, tetapi kejadian tersebut seakan baru terjadi kemarin. Aku tidak penah melupakan wajah adikku berusia 8 tahun dan aku berusia 11 tahun.

Setelah adikku lulus SMP, ia akan melanjutkan ke sebuah SMA di kabupaten. Pada saat bersamaan, aku di terima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, mengisap rokok tembakaunya, terus-menerus sampai menghabiskan berbungkus-bungkus rokok. Aku mendengarnya menggerutu, “kedua anak kita memberikan hasil yang sangat baik … hasil yang sangat baik …” ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela napas, “apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan keluar menghampiri ayah dan berkata, “ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi, aku telah cukup membaca banyak buku.”

Ayah megayunkan tangannya dan memukul wajah adikku, “keparat, mengapa kamu mempunyai jiwa yang begitu lemah? Sekalipun hal tersebut berarti bahwa aku harus mengemis di jalanan, aku tetap akan menyekolahkan kalian berdua sampai selesai!” setelah itu ayah mengetuk setiap rumah di desa untuk mencoba meminjam uang.

Dengan penuh kelembutan, aku menjulurkan tanganku ke wajah adikku yang membengkak. Aku mencoba menasihatinya, “seorang anak laki-laki harus melanjutkan sekolahnya. Jika tidak,  maka ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini. Aku seorang wanita. Sekolah tidaklah terlalu penting. Aku telah memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke universitas.

Pada keesokan harinya, sebelum fajar menyingsing, di luar dugaan, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering.  Dia menyelinap kesamping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku, “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, sambil menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Saat itu, adikku berusia 17 tahun, sedangkan aku berusia 20 tahun.

Dengan uang hasil pinjaman ayah pada beberapa warga desa, di tambah dengan uang dari adikku (hasil kerja adik sebagia kuli panggul semen di lokasi konstruksi), akhirnya aku berhasil melewati tahun ketiga di universitas.

Pada suatu hari, ketika aku sedang belajar di kamar, teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “ada seorang penduduk desa menunggumu di luar!”

Mengapa ada seorang penduduk desa mencariku? Aku berjalan keluar dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.

Aku bertanya kepadanya, “mengapa tidak kamu katakana kepada temanku bahwa kamu adalah adikku?” dia menjawab, tersenyum, “lihatlah penampilanku. Apa yang akan mereka pikirkan jika mereka tahu bahwa aku adalah adikku? Apakah mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa sangat terharu dan air mata kembali mengalir dari mataku. Aku membersihkan semua debu yang melekat pada adikku, dengan agak tersendat-sendat aku berkata, “aku tidak peduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku… apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu…

Dari sakunya ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya di rambutku, dan kemudian mejelaskan, “aku melihat semua gadis di kotamu memakainya. Jadi aku pikir kamu juga harus memakainya. “dan, aku pun tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku memeluk adikku, menangis dan menangis.

Waktu terus berlalu, adikku telah berusia 20 tahun sedangkan aku berusia 23 tahun. Saat aku pertama kali membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah di ganti, dan rumahku terlihat bersih.

Setelah pacarku pulang, aku menari seperti seorang gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!” ibu tersenyum dan berkata, “ini adalah karena adikmu yang pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat wajahnya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit obat pada lukanya dan membalut lukanya.

“apakah masih sakit?” aku bertanya kepadanya/
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap saat. Hal tersebut bahkan tidak menghentikanku untuk bekerja dan …”

Di tengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun terus berlalu, dan saat aku menikah, adikku berusia 23 tahun, sedangkan aku berusia 26 tahun. Setelah menikah, aku tinggal di kota. Sering kali suamiku dan aku mengundang orangtuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka selalu menolak.

Mereka mengatakan, jika meninggalkan desam mereka tidak tahu apa yang harus di perbuat. Adikku juga tidak setuju, ia berkata, “Kak, jaga saja mertuamu. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Suamiku menjadi direktur di pabrik tempat ia bekerja. Kami menginginkan agar adikku mendapat pekerjaan sebagai manajer pada bagian pemeliharaan alat teknik. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras untuk tetap bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari adikku terkena sengatan listrik ketika ia naik tangga untuk memperbaiki kabel listrik.

Ia di masukkan ke rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Setelah melihat gips putih pada kakinya, aku mengerutu, “mengapa kamu menolak tawaran untuk menjadi seorang manajer? Seorang manajer tidak akan pernah melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihatlah dirimu saat ini, mendapat luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengarkan kami sebelumnya?

Dengan wajah yang serius, ia menjelaskan. “pikirkanlah kakak ipar . . . ia baru saja menjadi seorang direktur , dan aku tidak mempunyai pendidikan. Jika aku di jadikan seorang manajer, gossip seperti apa yang akan tersebar?”

Mataku dan mata suamiku di penuhi oleh air mata, lalu keluarlah perkataanku dengan terpatah-patah, “tetapi, kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“mengapa membicarakan masa lalu?”
Jawab adikku sambil mengenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 tahun, sedangkan aku berusia 29 tahun.

Adikku berusia 30 ketika ia menikah dengan seorang gadis petani dari desa kami. Pada acara pernikahannya, “siapa yang paling anda hormati dan anda kasihi?” bahkan tanpa pikir, ia segera menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali suatu kisah yang bahkan tidak dapat ku ingat. “ketika aku masih di sekolah dasar, sekolah kami berada di desa yang berbeda. Setiap hari kakakku dan aku berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang kerumah.

Suatu hari, aku kehilangan salah satu sarung tanganku. Lalu, kakakku memberikan satu dari sarung tangannya.dan ia hanya memakai satu sarung tangan saja dan berjalan sangat jauh.

Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin, sampai-sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu aku bersumpah, selama aku masih hidup, aku akan menjaga kakakku dan berbuat baik kepadanya.”

Tepuk tangan memenuhi ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Bibirku terasa begitu berat dan sulit untuk mengucapkan kata-kata, “dalam hidupku, orang yang kepadanya aku sangat berterima kasih adalah adikku”

Dan, pada saat yang paling berbahagia itu, di depan kerumunan orang banyak dalam perayaan itu, air mataku mengalir turun seperti sungai membasahi wajahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar